Pages

Senin, 06 Maret 2017

Nikmatnya Hidup Bersama Hidayah


Pernahkah berpikir jika hidup adalah nikmat? Bagi seorang yang dilimpahi materi dalam hidupnya, boleh jadi menjawab iya. Hidup di dunia adalah nikmat dan menyenangkan.
Sebaliknya, mereka yang ditakdirkan kekurangan materi, mungkin ada yang berkata tidak. Hidup adalah beban dan penderitaan saja.
Jauhnya manusia dari agama dan rusaknya moral manusia, kerap menjadikan mereka berpikir materialistik.
Menganggap hidup sekadar ajang mengejar materi duniawi. Akibatnya ketika orang itu tak memperoleh keuntungan materi, serta merta ia menganggap hidup ini adalah beban.
Alih-alih berbagi manfaat kepada sesama dan lingkungan, sejak awal dia sudah terkungkung beban pemikirannya yang sempit. Bawaannya hanya stress dan berburuk sangka kepada orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا * إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا * إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا)
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya [dengan perintah dan larangan], karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” [Surat Al-Insan [76]: 1 – 3]
Dalam ayat di atas, Allah mengutarakan dua nikmat besar yang telah Allah berikan kepada manusia.
Nikmat pertama, penciptaan dan hidup manusia itu sendiri. Ia diciptakan dari yang sebelumnya tak pernah ada. Manusia lahir sedang dulunya tak dikenal sama sekali.
Bahkan tak dikenal oleh sang ibu yang melahirkannya. Dalam urusan penciptaan, manusia sama sekali tak punya andil dan kuasa sedikit pun kecuali hanya wajib mensyukurinya.
Nikmat berikutnya terdapat pada kemurahan Allah dengan diutusnya Rasul (utusan Allah) kepada manusia dan diturunkannya al-Qur’an sebagai pegangan hidup.
Rasul bertugas memberikan penjelasan akan aturan dan rambu-rambu kehidupan di dunia. Suatu pedoman hidup yang telah terangkum lengkap dalam al-Qur’an.
Petunjuk yang mampu mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dan ketenangan hidup. Baik di dunia terlebih di akhirat kelak (Tafsir Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Dar al-Fikr, Beirut 1995).
Bagi yang pandai bersyukur, orang itu senantiasa mampu berpikir positif dalam setiap urusannya
Baginya, jatah hidup berarti kesempatan mensyukuri nikmat yang diberikan. Seolah tak punya waktu untuk berleha-leha dan berbuat sia-sia.
Dirasakan, nikmat yang begitu meruah tak sebanding dengan yang diperbuat selama ini. Jatah umurnya yang terus menyusut tak seimbang dengan pengabdiannya kepada agama.
Alhasil, kehidupan orang yang pandai bersyukur senantiasa aktif dan dinamis. Seluruh urusan dan masalah yang dihadapi jadi lahan subur merefleksikan rasa syukur itu.
Pikirannya fokus dan satu saja. Menebarkan benih kebaikan dan kebenaran sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Manusia yang paling disenangi Allah Ta’ala adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Hidup adalah pilihan
Hidup adalah pilihan. Ungkapan tersebut sepertinya bisa mewakili keadaan manusia sekarang. Faktanya, karunia petunjuk dan limpahan nikmat materi masih menyisakan ujian.
Manusia dihadapkan dua pilihan.  Apakah mereka mampu bersyukur atas nikmat tersebut atau justru mengingkari nikmat yang terhidang.
Ibarat neraca, dunia dengan pesonanya menjadi alat penimbang kadar kesyukuran atau kekufuran orang tersebut.
Pilihan itu berpulang kepada manusia. Sebab Allah Ta’ala hanya menerangkan jalan menuju surga dan menjelaskan cara menjauhkan diri dari siksa neraka.
Meski menjadi naluri fitrawi diakui dalam alam arwah, tapi hidayah bukanlah garansi yang tak bergerak. Iman adalah perkara yang tak bisa diwariskan. Ia bisa saja lenyap jika tak dirawat dengan ketaatan dan amal shaleh di jalan dakwah.

0 komentar:

Posting Komentar