Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 20 Maret 2017

Mencari Jalan Pulang

Sebuah puisi yang sangat indah yang dapat mengingatkan kita pada tempat asal kita dan tempat kita kembali. Semoga dapat kita renungkan.
Mencari Jalan Pulang
(Ustadzah Irene Handono)
Kita bukan penduduk bumi…
Kita adalah penduduk syurga…
Kita tidak berasal dari bumi…
Tapi kita berasal dari syurga.
Maka carilah bekal untuk kembali ke rumah…
Kembali ke kampung halaman…
Dunia bukan rumah kita…
Maka jangan cari kesenangan dunia.
Kita hanya pejalan kaki dalam perjalanan kembali ke rumahNya.
Bukankah mereka yang sedang dalam perjalanan pulang selalu mengingat rumahnya dan mereka mencari buah tangan untuk kekasih hatinya yang menunggu di rumah?
Lantas….
Apa yang kita bawa untuk penghuni rumah kita, Rabb yang mulia?
Dia hanya meminta amal sholeh dan keimanan, serta rasa rindu padaNya yang menanti di rumah.
Begitu beratkah memenuhi harapanNya?
Kita tidak berasal dari bumi…
Kita adalah penduduk syurga…
Rumah kita jauh lebih Indah di sana.
Kenikmatannya tiada terlukiskan…
Dihuni oleh orang-orang yang mencintai kita…
Serta tetangga dan kerabat yang menyejukkan hati.
Mereka rindu kehadiran kita…
Setiap saat menatap menanti kedatangan kita…
Mereka menanti kabar baik dari Malaikat Izrail…
Kapan keluarga mereka akan pulang?
Ikutilah peta (Al-Qur’an) yang Allah titipkan sebagai pedoman perjalanan…
Jangan sampai salah arah dan berbelok ke rumahnya Iblis Laknatullah yaitu jalan ke Neraka Jahannam.
Kita bukan penduduk bumi…
Kita penduduk syurga..
Bumi hanyalah dalam perjalanan…
Kembalilah ke rumah.
Selamat berikhtiar saudaraku semua…untuk kembali ke rumah kita di syurga.
Bismillah…

Pada Suatu Titik

Pada suatu titik ketika bandul kezhaliman menyimpang melampaui batasnya, Allah punya cara untuk memberinya ayunan pembalik yang tak kalah dahsyatnya.
Adalah Abu Jahl melecehkan Muhammad ï·º di depan khalayak dengan hinaan, cercaan, dan kutuk yang angkara, maka Hamzah yang selama ini masih ragu dan membiarkan perjuangan keponakannya berjalan alami sahaja dilanda murka. Menunggang kuda dan berthawaf tanpa menurunkan busur serta buruannya, dia lalu hantam kepala Abu Jahl hingga berdarah dengan ujung gandewa, dan dengan kata-kata menyala mengumumkan keislamannya.
Pada satu titik, setiap simpangan pasti berbalik.
Seperti ketika kebencian ‘Umar kepada Muhammad ï·º telah memuncak dan nyaris meledak di ubun-ubunnya. Petang itu, dia telah membulatkan tekad untuk membunuh lelaki jujur yang dia anggap berubah menjadi pemecah belah Makkah sejak beberapa tahun belakangan, yang memisahkan suami dari istri, anak dari bapak, dan karib dari kerabat karena keyakinan mereka. Dia malah berbelok ke rumah adiknya, dan darah yang mengaliri wajah suami istri Fathimah-Sa’id dari tamparannya, membuatnya rela mendengarkan Kalam. Dia lalu bergegas ke rumah Al Arqam, bukan untuk membunuh, melainkan untuk menjadi Al Faruq yang gelegar semangatnya menggigilkan Musyrikin di keesokan harinya.
Pada suatu titik, setiap simpangan pasti berbalik.
Seperti ketika Suhail ibn ‘Amr memaksa dihapusnya nama “Arrahmanirrahim” dan sebutan “Rasulullah ï·º” dari naskah Hudaibiyah, maka justru peristiwa itu ditandai oleh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dengan turunnya firman, “Sesungguhnya Kami telah bukakan untukmu kemenangan yang gilang gemilang.” Dan jumlah orang yang berbondong masuk Islam dalam 4 tahun berikutnya berribu kali lipat dibanding 19 tahun penuh darah dan airmata yang telah lewat.
Maka kita katakan kepada semua tiran lacut dan penganiaya ummat, terus-teruskan sahaja jika kalian memang mengingini kezhaliman bersimaharajalela, tapi sekeras kalian mengayun, sebegitupun ia akan berbalik tanpa ampun.

Rizki di Tangan Allah

Berapa banyak orang yang menghamba pada harta tanpa tahu makna ia sesungguhnya. Harta adalah bagian dari rizki Allah. Janganlah berlebihan untuk mencintainya.
Berikut adalah ulasan singkat tentang rizki dari KH. Hafidz Abdurrahman, Khadim Majelis-Ma’had Syaraful Haramain dalam akun twitternya @Hafidz_AR1924:
#Rizki: 1- Rizki, dalam bahasa Arab, bermakna ‘Atha’ [pemberian]. Apa saja yang diberikan Allah adalah rizki. Bisa halal, bisa haram.
#Rizki: 2- Allah sendiri menyatakan, rizki ada yang halal dan haram. Diambil dari Mafhum Mukhalafah [mafhum kebalikan] Q.s. al-Baqarah: 172.
#Rizki: 3- Yang menentukan halal dan haram adalah proses yang dilakukan manusia dalam mendatangkan rizki, pemberian Allah kepadanya.
#Rizki: 4- Karena itu harus dibedakan, antara usaha manusia dalam mengumpulkan rizki, dan rizki yang ada di tangan Allah SWT.
#Rizki: 5- Usaha yang halal akan mendatangkan rizki yang halal. Usaha yang haram akan mendatangkan rizki yang haram.
#Rizki: 6- Usaha yang halal, dengan hasil yang halal, menjadi sebab keabsahan kepemilikan dalam Islam.
#Rizki: 7- Sebaliknya, usaha yang haram, dengan hasil yang haram, menjadi sebab ketidakabsahan kepemilikan dalam Islam.
#Rizki: 8- Itulah rizki yang ada di tangan manusia. Rizki yang ada di tangan manusia inilah yang bisa berkurang, bahkan habis.
#Rizki: 9- Tapi, rizki yang ada di tangan Allah tidak pernah berkurang atau habis. Begitulah firman Allah dalam Q.s. an-Nahl: 96.
#Rizki: 10- Sayangnya, manusia lebih yakin dengan yang di tangannya, ketimbang apa yang ada di tangan Allah. Akibatnya, stress..

Jadilah kuat dengan kokohnya karakter mulia

Akhlaq al-karimah adalah salah satu tanda kesempurnaan keimanan dan ketakwaan seorang mukmin. Menjadi penyeru kebaikan dan perubahan tidak cukup merubah diri sendiri menjadi baik tetapi juga harus berupaya merubah orang-orang di sekitar menjadi baik, artinya setiap muslim tidak hanya jadi orang baik, tetapi dituntut menjadi penyeru kebaikan. Bagi seorang pengemban dakwah, ketika sifat-sifat mulia telah terinternalisasi pada dirinya, maka mereka akan menjadi magnitude yang akan diikuti umat. Sehingga nasehat dan seruan kepada mad’u terasa membekas. Diantara akhlaq yang mulia adalah zuhud dan tawadlu’.
Zuhud
Sederhana dan bersahaja yang terwujud dalam perilaku zuhud, merupakan sifat mulia yang perlu diteguhkan baik muslim maupun muslimah, terlebih lagi para ulama dan setiap pengemban dakwah, agar mereka tidak tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya. Zuhud tidaklah bermakna menggelandangkan dunianya. Tapi, orang beriman beramal shalih untuk unggul di dunia, pada saat yang sama, akal dan perasaan mereka tidak tertipu pada dunia. Mereka meyakini betul bahwa dunia itu tidak kekal dan akhiratlah yang lebih baik dan lebih kekal. Sehingga, orang-orang beriman beramal di dunia dengan segala kesungguhan bukan hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, tetapi untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya di akhirat.
Imam Sufyan ats-Tsauri ditanya: “Akankah orang yang berharta itu menjadi seorang zuhud?” Beliau menjawab: “Ya, dengan catatan jika hartanya bertambah, maka ia bersyukur, dan sebaliknya jika hartanya berkurang, maka ia juga bersyukur dan bersabar.”
Yahya bin Mu’ad berkata: “Aku heran pada tiga hal: Pertama, seseorang yang beramal dengan riya’ (dipamerkan) kepada makhluk sesamanya, sebaliknya ia enggan beramal karena Allah. Kedua, seseorang yang kikir dengan hartanya, sementara Tuhannya meminta pinjaman padanya, namun ia tidak meminjamkan sedikitpun harta pada-Nya. Ketiga, seseorang yang senang bersahabat dan berkawan dengan para makhluk, sementara Allah menyerunya agar bersahabat dan berkawan dengan-Nya.” (Abdul Aziz bin Muhammad Salman, Mawârid al-Dzam’ân li Durûs al-Zamân Juz II).
Dari Jundab bin Abdullah al-Bajali, ia berkata: “Aku datang ke Madinah guna menimba ilmu, lalu aku masuk ke masjid Rasulullah saw. Maka di dalamnya orang-orang membentuk beberapa halqah guna membahas berbagai perkara. Aku kemudian mengikuti semua halqah itu, hingga tiba pada satu halqah yang di dalamnya ada seorang laki-laki yang kurus, ia memakai dua buah baju seakan-akan baru tiba dari satu perjalanan.
Aku mendengarnya berkata: “Celakalah mereka yang memiliki kekuasaan dan mempunyai kedudukan. Tiadalah obat yang bisa menolong mereka.” Aku mengira bahwa ia mengatakan hal itu berkali-kali. Aku duduk mendekatinya, ia menerangkan fatwanya, kemudian berdiri. Aku menanyakannya pada yang hadir setelah dia berdiri: “Siapa gerangan orang ini?” Mereka menjawab: “Inilah sayyidul muslimin (pemimpin kaum Muslim) Ubay bin Kaab“.
Lalu aku mengikutinya, hingga tiba dirumahnya. Ternyata rumahnya begitu usang, begitu pula dengan bentuknya. Ia seorang laki-laki zuhud yang tiada bandingannya, walaupun semua orang saling menggabungkan kezuhudannya untuk menandingi kezuhudannya.
Suatu hari, Abdullah bin Umar diberi hadiah oleh temannya sebuah bejana yang penuh berisi. Ibnu Umar bertanya: “Apakah ini?” Temannya menjawab: “Ini obat mujarab yang aku bawa untukmu dari Irak.” Ibnu Umar berkata: “Apa khasiat obat ini?” Temannya menjawab: “(Membantu) mencernakan makanan”. Ibnu Umar tersenyum dan berkata pada temannya: “Membantu mencernakan makanan? Sesungguhnya aku tidak pernah kenyang makan makanan selama empat puluh tahun”. Ibnu Umar ra takut, jika pada hari kiamat kelak dikatakan padanya: “Engkau telah menghabiskan segala yang lezat milikmu sepanjang hidupmu di dunia, dan hidup bersenang-senang dengannya”. Sebagaimana ia sering katakan pada dirinya: “Aku tidak membuat bangunan dengan dinding tembok, dan tidak menanam sebatang kurma pun sejak Rasulullah saw wafat”. Maimun bin Mahran berkata: “Aku memasuki rumah Ibnu Umar, lalu aku menaksir segala sesuatu yang ada di rumahnya, mulai dari tempat tidur, selimut dan periuk besar, dan semua perabotannya, aku tidak mendapati nilainya mencapai seratus dirham.”
Sikap zuhud menjadikan seorang hamba Allah berhati-hati dari sifat riya’ dan kikir. Yahya bin Mu’ad berkata: “Aku heran pada tiga hal: Pertama, seseorang yang beramal dengan riya’ (dipamerkan) kepada makhluk sesamanya, sebaliknya ia enggan beramal karena Allah. Kedua, seseorang yang kikir dengan hartanya, sementara Tuhannya meminta pinjaman padanya, namun ia tidak meminjamkan sedikitpun harta pada-Nya. Ketiga, seseorang yang senang bersahabat dan berkawan dengan para makhluk, sementara Allah menyerunya agar bersahabat dan berkawan dengan-Nya.” (Abdul Aziz bin Muhammad Salman, Mawârid al-Dzam’ân li Durûs al-Zamân Juz II).
Tawadlu’
Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wa Salam juga mengatakan bahwa orang yang bersikap tawadhu’, ia akan diangkat derajatnya. Sebuah derajat dan kehormatan yang tentunya sangat tinggi dihadapan Tuhannya.
“Dan tidaklah Sesorang bertawadhu’ kepada Alloh kecuali Alloh akan mengangkat (derajat)nya.” (HR. Muslim).
Dalam hadist lain juga disebutkan: “Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Alloh, naka Alloh akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barang siapa yang menyombongkan diri, maka Alloh akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi.” (HR. Al-Baihaqi).
Telah sampai kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah cerita orang-orang di Syam tentang dirinya. Mereka terpesona terhadap gelar amirul umara (panglima besar) yang disandangnya. Ia mengumpulkan mereka dan berbicara di depan mereka: “Wahai manusia, sesungguhnya aku seorang muslim dari suku Quraisy. Siapa saja diantara kalian yang berkulit merah atau pun yang berkulit hitam, yang lebih bertakwa kepada Allah daripada aku, maka aku ingin sekali dibimbing olehnya”.
Ketika Amirul Mukminin Umar mengunjungi Syam, ia bertanya tentang saudaranya, mereka malah bertanya: “Siapa saudaramu itu?”. Ia menjawab: “Abu Ubaidah bin al-Jarrah”. Abu Ubaidah pun datang dan kemudian dirangkul Amirul Mukminin. Lalu Abu Ubaidah mengajaknya ke rumahnya. Di sana, Umar tidak mendapati perabotan apapun di dalam rumahnya kecuali pedang, perisai, dan pelana miliknya. Umar bertanya kepadanya sambil tersenyum: “Mengapa engkau tidak mengambil harta untuk kepentinganmu sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang?” Abu Ubaidah menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, ini semua sudah cukup menjadikan aku bisa istirahat dan tidur sejenak.”
Ibnu Qoyyim dalam kitab Madarijus Salikin berkata: “Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya, maka kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Alloh karena Alloh adalah Al-Haq (benar); kalam-nya benar, agamanya-Nya benar. Kebenaran datangnya dari Alloh dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari Alloh dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”
Dalam sebuah atsar juga diceritakan bahwa pada suatu malam datanglah seorang tamu kepada kholifah Umar bin Abdul Azis. Waktu itu beliau sedang menulis. Lampunya hampir saja padam. Tamu itu kemudian berkata: “Ya Amirul Mukminin, biarlah saya yang memperbaiki lampu itu.” Sang Amir menjawab: “Jangan, tidak baik seorang menganggap tamunya sebagai pelayan. Itu bukan Akhlak mulia.” Tamunya itu berkata lagi: ”Kalau begitu, biar saya bangunkan pelayan saja.” Sang Amir menjawab: “ Jangan ia baru aja tidur, sepertinya sejak tadi dia blom menikmati kenikmatan bantalnya.” Selanjutnya beliau sendiri yang membetulkan lampunya. Si tamu itupun bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, mengapa anda sendiri yang membetulkan lampu itu?” Sang Amir menjawab: “ Mengapa tidak, kalau saya pergi sayapun tetap Umar. Tidak berkurang sedikitpun dari diriku dengan apa yang saya lakukan tadi, bukan? Selamanya saya tetap Umar.”

Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel

Muhammad al-Fatih adalah salah seorang raja atau sultan Kerajaan Utsmani yang paling terkenal. Ia merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah. Al-Fatih adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya karena dialah yang mengakhiri atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad.
Sultan Muhammad al-Fatih memerintah selama 30 tahun. Selain menaklukkan Binzantium, ia juga berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di Asia, menyatukan kerajaan-kerajaan Anatolia dan wilayah-wilayah Eropa, dan termasuk jasanya yang paling penting adalah berhasil mengadaptasi menajemen Kerajaan Bizantium yang telah matang ke dalam Kerajaan Utsmani.
Karakter Pemimpin Yang Ditanamkan Sejak Kecil
Muhammad al-Fatih dilahirkan pada 27 Rajab 835 H/30 Maret 1432 M di Kota Erdine, ibu kota Daulah Utsmaniyah saat itu. Ia adalah putra dari Sultan Murad II yang merupakan raja keenam Daulah Utsmaniyah.
Sultan Murad II memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anaknya. Ia menempa buah hatinya agar kelak menjadi seorang pemimpin yang baik dan tangguh. Perhatian tersebut terlihat dari Muhammad kecil yang telah menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz, mempelajari hadis-hadis, memahami ilmu fikih, belajar matematika, ilmu falak, dan strategi perang. Selain itu, Muhammad juga mempelajari berbagai bahasa, seperti: bahasa Arab, Persia, Latin, dan Yunani. Tidak heran, pada usia 21 tahun Muhammad sangat lancar berbahasa Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin, dan Yunani, luar biasa!
Walaupun usianya baru seumur jagung, sang ayah, Sultan Murad II, mengamanati Sultan Muhammad memimpin suatu daerah dengan bimbingan para ulama. Hal itu dilakukan sang ayah agar anaknya cepat menyadari bahwa dia memiliki tanggung jawab yang besar di kemudian hari. Bimbingan para ulama diharapkan menjadi kompas yang mengarahkan pemikiran anaknya agar sejalan dengan pemahaman Islam yang benar.
Menjadi Penguasa Utsmani
Sultan Muhammad II diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada tanggal 5 Muharam 855 H bersamaan dengan 7 Febuari 1451 M. Program besar yang langsung ia canangkan ketika menjabat sebagai khalifah adalah menaklukkan Konstantinopel.
Langkah pertama yang Sultan Muhammad lakukan untuk mewujudkan cita-citanya adalah melakukan kebijakan militer dan politik luar negeri yang strategis. Ia memperbarui perjanjian dan kesepakatan yang telah terjalin dengan negara-negara tetangga dan sekutu-sekutu militernya. Pengaturan ulang perjanjian tersebut bertujuan menghilangkan pengaruh Kerajaan Bizantium Romawi di wilayah-wilayah tetangga Utsmaniah baik secara politis maupun militer.
Menaklukkan Bizantium
Sultan Muhammad II juga menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit yang akan mengepung Konstantinopel dari darat. Pada saat mengepung benteng Bizantium banyak pasukan Utsmani yang gugur karena kuatnya pertahanan benteng tersebut. Pengepungan yang berlangsung tidak kurang dari 50 hari itu, benar-benar menguji kesabaran pasukan Utsmani, menguras tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.
Pertahanan yang tangguh dari kerajaan besar Romawi ini terlihat sejak mula. Sebelum musuh mencapai benteng mereka, Bizantium telah memagari laut mereka dengan rantai yang membentang di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Bizantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut.
Akhirnya Sultan Muhammad menemukan ide yang ia anggap merupakan satu-satunya cara agar bisa melewati pagar tersebut. Ide ini mirip dengan yang dilakukan oleh para pangeran Kiev yang menyerang Bizantium di abad ke-10, para pangeran Kiev menarik kapalnya keluar Selat Bosporus, mengelilingi Galata, dan meluncurkannya kembali di Tanduk Emas, akan tetapi pasukan mereka tetap dikalahkan oleh orang-orang Bizantium Romawi. Sultan Muhammad melakukannya dengan cara yang lebih cerdik lagi, ia menggandeng 70 kapalnya melintasi Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai satu malam.
Di pagi hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali tidak mengira Sultan Muhammad dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. 70 kapal laut diseberangkan lewat jalur darat yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar, menebangi pohon-pohonnya dan menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang terjadi.
Peperangan dahsyat pun terjadi, benteng yang tak tersentuh sebagai simbol kekuatan Bizantium itu akhirnya diserang oleh orang-orang yang tidak takut akan kematian. Akhirnya kerajaan besar yang berumur 11 abad itu jatuh ke tangan kaum muslimin. Peperangan besar itu mengakibatkan 265.000 pasukan umat Islam gugur. Pada tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan al-Ghazi Muhammad berhasil memasuki Kota Konstantinopel. Sejak saat itulah ia dikenal dengan nama Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel.
Saat memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih turun dari kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah itu, ia menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan menggantinya menjadi masjid. Konstantinopel dijadikan sebagai ibu kota, pusat pemerintah Kerajaan Utsmani dan kota ini diganti namanya menjadi Islambul yang berarti negeri Islam, lau akhirnya mengalami perubahan menjadi Istanbul.
Selain itu, Sultan Muhammad al-Fatih juga memerintahkan untuk membangun masjid di makam sahabat yang mulia Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wafat saat menyerang Konstantinopel di zaman Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Setelah itu rentetat penaklukkan strategis dilakukan oleh Sultan Muhammad al-Fatih; ia membawa pasukannya menkalukkan Balkan, Yunani, Rumania, Albania, Asia Kecil, dll. bahkan ia telah mempersiapkan pasukan dan mengatur strategi untuk menaklukkan kerajaan Romawi di Italia, akan tetapi kematian telah menghalanginya untuk mewujudkan hal itu.
Peradaban Yang Dibangun Pada Masanya
Selain terkenal sebagai jenderal perang dan berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan-sultan lainnya, Muhammad al-Fatih juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki diwan, kumpulan syair yang ia buat sendiri.
Sultan Muhammad juga membangun lebih dari 300 masjid, 57 sekolah, dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah Utsmani. Peninggalannya yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Muhammad II dan Jami’ Abu Ayyub al-Anshari
Wafatnya Sang Penakluk
Pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad al-Fatih pergi dari Istanbul untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Di tengah perjalanan sakit yang ia derita kian parah dan semakin berat ia rasakan. Dokter pun didatangkan untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak lagi bermanfaat bagi sang Sultan, ia pun wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M. Saat itu Sultan Muhammad berusia 52 tahun dan memerintah selama 31 tahun. Ada yang mengatakan wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih karena diracuni oleh dokter pribadinya Ya’qub Basya, Allahu a’lam.
Tidak ada keterangan yang bisa dijadikan sandaran kemana Sultan Muhammad II hendak membawa pasukannya. Ada yang mengatakan beliau hendak menuju Itali untuk menaklukkan Roma ada juga yang mengatakan menuju Prancis atau Spanyol.
Sebelum wafat, Muhammad al-Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan.

Apa yang membedakan kita dengan mereka

Imdad al-Mughits bi tashil ‘Ulum al-Hadits adalah salah satu kitab agung karya anak ibu pertiwi, Indonesia, yaitu Duktur Lukman Al-Hakim Al Indunisi Al-Azhari yang membahas tentang ilmu hadits dimulai dari apa itu ilmu hadits, pembagian hadits dengan beragam jenisnya hingga bagaimana sikap seorang thalabah dalam mencari ilmu, termasuk ilmu hadits. Dimana ilmu hadits merupakan ilmu syari’at untuk memahami Al-Qur’an.
Ada nuansa yang berbeda yang penulis dapatkan ketika menghadiri Daurah yang beliau asuh langsung sekitar tiga hari yang lalu. Belajar tentang ilmu hadits, pastinya yang terbayang di sebagian benak kita adalah menghafal sejumlah perawi/periwayat hadits yang jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit hingga bersambung kepada qudwah kita yang agung, Nabi Muhammad saw begitu juga dengan matan atau isi hadits itu sendiri plus kita juga dituntut untuk mengetahui dengan pasti bagaimana biografi para perawi selama hidupnya. Sebab ketakwaan perawi hadits itu akan beratsar pada hadits yang akan beliau riwayatkan.
Benar. Penulis tersadar dan termasuk dalam daftar dari sebagian orang yang menganggap ilmu hadits itu ‘susah’. Dan ternyata hal itu disanggah oleh beliau, Duktur Lukman Al-Hakim. Di dalam Daurahnya, beliau menyampaikan bahwa ada sesuatu yang harus ditanamkan dalam diri kita, thalabah ilmu, yakni untuk menjadikan keikhlasan di atas setiap tujuan yang ingin kita capai. Dengan menjadikan keikhlasan di setiap aktivitas kita, maka semua akan terasa ringan meski kita menghadapi sesuatu yang berat. Begitu juga dalam mempelajari ilmu hadits. Bagiamana mungkin jika ada hukum yang ada dalam Al-Qur’an, butuh penjelasan lebih rinci yang itu bisa kita peroleh di dalam hadits sedangkan kita, sebagai generasi khoiru ummah, enggan dan merasa berat dalam mempelajari ilmu hadits?
Sekali lagi, tidaklah salah jika peserta semakin berdatangan di Aula KMNTB, Soqor Quraisy, memenuhi ruangan hingga kita, peserta akhwat, berpindah posisi lantaran kondisi tempat yang tidak lagi mampu menampung peserta yang tidak lain karena adanya motivasi-motivasi dari beliau selain menjelaskan isi dari kitab yang beliau rampungkan ini. Sehingga meskipun, pastilah, kita sebagai peserta tak henti-hentinya mengerutkan dahi karena membutuhkan fokus penuh- tetap semangat karena adanya nasehat dan kisah-kisah para sahabat dan ulama terdahulu yang gigih dalam menuntut ilmu hingga harum namanya dan tak lekang oleh zaman meskipun keberadaan mereka tidak bersama kita saat ini.
Tak cukup hanya sebatas airmata tanpa daya upaya. Karena air mata tanpa upaya tak lain dan tak lebih dari tangisan yang sia-sia.Seperti itulah halnya disaat kita membaca atau mendengar bagaimana kisah-kisah para ulama terdahulu yang begitu luar biasa. Imam Asy-Sya’bi, misalnya. Beliau adalah seorang ulama tabi’in. Ia pernah ditanya, “Dari mana kau peroleh seluruh ilmumu?” Ia menjawab, “Dengan cara tidak bersandar (bermalas-malasan).
Bersafar ke berbagai daerah. Sabar, sebagaimana sabarnya keledai. Bersegera sedari pagi sebagaimana burung gagak”. (adz-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Huffazh, 1/81).
Begitu juga dengan kehidupan Sufyan ats-Tsaury, kemiskinan tidak menjadi penghalang belajar. Sedikitnya bekal tidak menghalangi perjalanan hingga beliau menjadi tokoh bangsa Arab. Beliau adalah seorang yang fakih dan ahli hadits. Digelari dengan amirul mukminin fil hadits (pemimpin orang-orang yang beriman dalam masalah hadits) tentu menggambarkan betapa tinggi kedudukannya karena ilmu yang beliau miliki. Pada waktu itu Sufyan berkisah, “Saat aku mulai belajar, aku mengadu (kepada Allah), ‘Ya Rabb, aku harus memiliki penghasilan. Sementara ilmu itu pergi dan menghilang. Apakah aku bekerja mencari penghasilan saja? Aku memohon kepada Allah kecukupan’.
Sufyan ats-Taury adalah seorang yang miskin sedangkan belajar membutuhkan finansial. Fokus belajar, membuatnya tidak punya harta untuk belajar. Tapi jika belajar sambil bekerja, ilmu yang didapatkan hanya setengah-setengah, tidak optimal. Kemudian Allah memberikan jalan keluar dan mengabulkan doanya. Doa tulus untuk mempelajari agama-Nya. Ibunya berjanji menanggung keperluannya belajar. “Wahai anakku, belajarlah! Aku yang akan mencukupkanmu dari hasil usaha tenunanku ini”, kata ibunya (Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya. 6/370).
Dengan usaha menenun itulah, ibunya membelikan buku dan mencukupi kebutuhannya dalam belajar. Tidak hanya mendanai Sufyan, ibunya juga selalu memberi semangat dan menasihatinya agar terus giat memperoleh ilmu. Ibunya mengatakan, “Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, perhatikan, apakah ada pada dirimu perasaan semakin takut (kepada Allah), semakin lembut, dan semakin tenang. Jika engkau tidak merasakannya, ketahuilah apa yang kau pelajari memudharatkanmu. Tidak bermanfaat untukmu.” (Ibnul Jauzi dalam Sifatu Shafwah, 3/189). Nasihat sang ibu Sufyan juga sangat layak kita jadikan renungan. Memuhasabah diri yang mungkin jarang kita lakukan sebagai thalabah ilmu. Sudahkah ibadah kita makin giat, akhlak semakin baik, dan rasa takut serta tawakal kepada Allah kian kuat, setelah kita belajar?
Dan lain lagi dengan kisahnya Jabir bin Abdillah. Jabir bin Abdillah ra adalah seorang sahabat Rasulullah saw yang memiliki semangat luar biasa dalam mempelajari agama. Ia dan ulama-ulama lainnya tidak mencukupkan diri belajar di negerinya sendiri. Mereka bersafar, melangkahi jalan-jalan, menghilangkan ketidak-tahuan.
Kisah perjalanan mereka ini seperti dongeng. Karena mereka berjalan bermi-mil hanya untuk sesuatu yang menurut sebagian orang adalah kecil. Tantangan mereka pun berat dan fasilitas mereka tidaklah hebat. Perjalanan pun tetap beralangsung.Jabir bin
Abdillah ra melakukan perjalanan sebulan menuju Abdullah bin Unais ra hanya untuk satu hadits. Jabir bercerita, “Aku mendengar ada satu hadits yang diriwayatkan oleh seorang dari sahabat Rasulullah saw. Lalu aku membeli seekor onta, dan kuikat bekalku sebulan pada onta itu. Tibalah aku di Syam. Ternyata sahabat tersebut adalah Abdullah bin Unais. Aku berkata kepada penjaga pintunya, ‘Katakan kepadanya, Jabir sedang di pintu’. Dia bertanya, ‘Jabir bin Abdillah?’ Aku menjawab, ‘Ya’.
Lalu Abdullah bin Unais keluar dan dia merangkulku, aku berkata, ‘Sebuah hadits, aku mendengarnya ada padamu, kamu mendengarnya dari Rasulullah saw, aku khawatir mati atau kamu telah mati sementara aku belum mendengarnya. Lalu ia menyebutkan hadits tersebut…” (Riwayat al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 970, Ahmad 16085, dan al-Hakim 3638).Setelah mendangar hadits tersebut, Jabir langsung pulang, kembali ke Madinah. Tidak ada motivasi lain bagi dirinya, berangkat menuju Syam kecuali satu hadits tersebut.
Abu Ayyub al-Anshari pun juga demikian. Abu Ayyub al-Anshari pernah bersafar dari Madinah ke Mesir. Untuk menemui Uqbah bin Amir al-Juhni. Ia ingin meriwayatkan satu hadits darinya. Sesampainya di Mesir, bertemu Uqbah dan mendengar haditsnya, ia langsung kembali ke Madinah (Riwayat Ahmad 17490, Abdurrazzaq 18936, Ibnu Abi Syaibah 13729).
Tentunya masih banyak lagi ulama-ulama yang kesungguhannya tiada tara. Mereka memahami bahwa indahnya dunia hanya sebatas dan sesaat. Sedangkan akhirat itu adalah kekal dan menjadi ‘ma’waa’. Penduduk ahli surga di surga dan sebaliknya penghuni neraka di neraka. Dan itu tempat yang kekal.
Sehingga benar yang disampaikan oleh Duktur Lukman al-Hakim bahwa, “kita tidak sama dengan mereka”. Usaha mereka jauh melebihi batas nalar manusia saat ini. Keikhlasan merekalah yang mengatarkan dan membedakan kita dengan mereka. Mereka, para ulama, memiliki keikhlasan bahwa apa yang mereka perjuangkan adalah lillah semata, bukan untuk fananya dunia, bukan untuk sekedar prestasi yang fana. Bukan!
Inilah yang menjadi renungan bagi kita. Bermil-mil kita meninggalkan tanah halaman hingga ke negeri di bagian Afrika, Mesir, itu untuk apa? Apakah akan sama dengan yang dilakukan oleh Abu Ayyub al-Anshari? Beliau melakukan perjalanan, yang saat itu belum ada pesawat, ke Mesir demi mendapatkan satu hadits, yang mungkin bisa jadi dianggap remeh oleh masyarakat saat ini, kemudian beliau kembali lagi ke Madinah. Bagaimana dengan kita, khususnya yang diberikan Allah kesempatan menuntut ilmu di tempat yang sama yang dituju oleh Abu Ayyub al-Anshari?
Benar. Ilmu itu adalah cahaya. Yang dengannya kita akan mampu melihat benderangnya kebenaran dan kebathilan. Dengan ilmu yang benar pula, seharusnya umat Islam mampu membedakan nama kawan dan mana lawan. Mampu membedakan nama system Islam dan mana system bathil yang bukan berasal dari Islam. Seperti Kapitalisme dengan derivat-derivatnya yang saat ini telah mampu mengubah haluan umat Islam. Namun, sungguh umat Islam tidak akan pernah kehilangan mutiara-mutiaranya, yang pada saat yang sama juga kembali bangkit. Kembali mengukir kegemilangan sebagaimana para sahabat dan ulama yang terdahulu. Sehingga kita akan menjadi sama layaknya perjuangan mereka. Wallahu ‘alam ‘alaa kulli sya`i.

Senin, 06 Maret 2017

Sesungguhnya Kehidupan Dunia Hanyalah Permainan

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. ( QS Alhadid : 20)
Sahabat dunia islam, ada sebagian manusia yang mengejar dunia dengan segala cara, bahkan dia juga menghabiskan waktu untuk mengejar dunia. Pertanyaanya apakah dunia itu dapat dikejarnya? Ternyata tidak, ternyata semakin kita mengejar dunia bukanya semakin mendekat malah semakin jauh. Kenapa demikian?
Karena dunia ini adalah perlombaan dialam fatamorgana, setiap tiba di garis finis akan selalu ada garis finis yang baru dan seterusnya. Seperti ayat diatas QS Al Hadid : 20
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,…
Makna dari ayat diatas menunjukan bahwa dunia dan isinya adalah permainan yang melalaikan, perhiasan, perlombaan bermegah-megah dan berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak semuanya itu akan mendapat azab yang keras dari Allah SWT di akhirat nanti.
Oleh sebab itu mari kita sebagai muslim yang mengerti ajaran islam yang baik jangan mengikuti perlombaan dunia tanpa harus melupakan akhirat. Mencari dunia boleh-boleh saja tetapi dengan niat mencari keberkahan dan sebagai jalan untuk mendekatkan kita kepada Allah SWT. Seperti dalam hadis yang diriwayatkan HR. Bukhari yaitu:
…. dan jika kamu mendekat kepada KU satu jengkal, niscaya Aku akan mendekat kepadamu satu hasta, dan jika kamu mendekat kepada KU satu hasta, maka AKU akan mendekat kepadamu satu Depa, dan jika kamu mendekat kepada KU dengan berjalan kaki, niscaya AKU akan mendatangimu dengan berlari kecil” (HR. Bukhari).
Semakin kita mendekat kepada Allah, maka Allah akan mendekat kepada hamba-Nya melebihi apa yang kita lakukan. Oleh sebab itu mari kita memperbanyak mengingat Allah, maka Dia akan mencukupimu. Allah berfirma :
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. ( QS Al Ankabut : 64 )
Ada beberapa poin yang perlu kita pahami dari ayat di atas yaitu:

Harta dan Anak Akan Melalaikanmu Mengingat Allah

Allah berfirman dalam surat Al Munafiquun ayat 9 :
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. Al Munafiquun : 9)
Ketika kita mencintai harta dan anak secara berlebihan dapat menghalangi kita mengingat Allah, selain itu membanggakan anak dan harta adalah salah satu ciri orang yang munafiq.
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar (QS. At Taqhabun : 15)
Harta dan anak selalu berfungsi ganda, jika kita bisa mendidik anak maka anak akan menjadi bekal kita di Akhirat, demikian juga harta, jika kita bisa menggunakan harta dengan cara bersedekah ban berinfaq maka harta tersebut menjadi tabungan kita di akhirat nanti.

Harta Sebagai Sarana Tujuan Hidup

Harta yang kita cari di dunia bukanlah tujuan hidup, tetapi dia tidak lebih sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup. Dan sarana ini semua akan kita tinggalkan setelah kita berhasil tujuan akhir yaitu keselamatan di dunia dan di akhirat. Nabi bersabda :
“ Dunia itu laksana surga bagi orang kafir dan penjara bagi orang mukmin”. (HR. Muslim)
Kenapa demikian karena setiap harta yang kita dapatkan dan harta yang kita belanjakan semua itu akan di pertanggung jawabkan pada hari akhir.
Apakah harta yang kita dapatkan halal atau haram, dan membelanjakan harta apakah untuk berbuat baik seperti bershodakoh, infak dll atau justru kita membelanjakan harta kita di jalan maksiat. Tentu semua itu akan di pertanggungjawabkan.
Wallahu a’lam